Musik dansa mengalun ramah dari rumah bercorak
Belanda di seberang sana
Dari balik tirai abu fana, kerumunan tamu saling
merangkul peluk dengan kekasih
Aku terduduk di bawah pohon mahoni; menyusun siasat
membunuh waktu
Ah bus nomor 3A memang selalu terlambat
Belum lama fantasiku berkejaran, sorot lampu mobil
VW butut memergoki senyumku
Aku buyar;
dan si butut itu pergi begitu saja tanpa urgensi
apa-apa
Benar saja, hampir senewen aku dibuatnya
Padahal aku tengah asyik merindunya; saat kita berbagi
noda di halaman belakang rumah
Aku si payah yang melanggar sendiri ketaatan pada
nazarnya
Jikalau aku seorang religius, mungkin orang
memanggilku terkutuk si pelanggar kaul kekal
Pun jika rindu adalah ilmu, mungkin kini aku seorang
cendekia; aku penuh
Ampuni aku yang merindumu
Ampuni aku yang meneladan dan memuja kemayu mu
Rinduku ini terbuat dari ranum senyummu yang
tergesa-gesa ku petik sore itu
Padahal, mungkin saja senyummu itu sekadar etika;
tidak lebih dan tidak kurang
Tenang saja, aku tetap orang itu
Meski hatiku kalang kacau
Meski sedari mula aku menyadari bahwa aku dan kamu
sangatlah rancu
Tolong abaikan saja euforiaku ini
