Cari Blog Ini

Sabtu, 21 Desember 2013

Berlayar ke Tepian



CERPEN   

          
             “Kita cerai!”, Ayah membentak. Talak tiga sudah.Ya, itu adalah peristiwa enam tahun lalu ketika aku masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP) kelas tiga. Aku adalahanak broken home yang masih terlalu muda untuk menjadi tulang punggung keluarga.
            Kesulitan ekonomi mulai melanda keluarga kami setelah satu tahun si kutu kupret itu meninggalkan Ibu. Aku memutuskan untuk berhenti sekolah dan membantu Ibu mencari uang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan untuk menyekolahkan adikku. Ada perasaan menyesal memang, ketika aku tidak bisa seperti teman-temanku yang melanjutkan sekolah ke jenjang berikutnya. Tetapi Ibuku hanyalah seorang pekerja serabutan yang gajinya pas-pasan dan tubuhnya yang mulai ringkih membuatku tak tega melihatnya. Maklum usianya sudah menginjak setengah abad.
            Aku benci Ayah. Mengapa Ia lebih memilih wanita jalang itu daripada Ibu yang lemah lembut dan cantik menawan bagiku. Semenjak persidangan, Ibu tidak pernah terlihat menitikkan air mata setetes pun. Mungkin Ibu hanya menangis di dalam toilet di bawah pancuran air shower. Sehingga air matanya mengalir bersama dengan tetesan air shower tanpa terlihat sedikit pun. Ibu memang wanita yang tegar.
            Adikku Halmer adalah satu-satunya harapan keluarga. Halmer sekarang berumur 16 tahun. Syukurlah aku dan Ibu masih sanggup membiayai sekolahnya sampai Sekolah Menengah Atas (SMA). Sempat aku berpikir bahwa hidupnya pasti akan lebih mujur daripada kakaknya.
            Aku dan Ibu bekerja mati-matian untuk menafkahi keluarga. Mulai dari pembantu rumah tangga, tukang bangunan, tukang parkir, bahkan buruh pasarpun pernah aku jalani. Sedangkan Ibu hanya bekerjadi rumahsambil membuka jasa menyetrika baju karena memang aku yang memintanya begitu. Berkali-kali aku bergonta-ganti pekerjaan. Bukan karena kualitas kerjaku yang buruk lalu dipecat atasan, tetapi karena aku berusaha mencari penghasilan yang lebih besar sebisa mungkin demi adikku. Beberapa kali aku mulai putus asa dan menyerah karena letih dipundakku tak bosan-bosannya bertengger. Jalan hidup yang kulalui terasa berat dan abstrak. Sulit dilalui oleh aku yang masih berusia 20 tahun tanpa ijazah SMA berkeliaran di jalan untuk mencari secercah harapan hidup.
            Sampai pada suatu hari keterpurukan menerjang keluarga kami. Ibu sakit dan harus istirahat yang cukup. Kini hanya aku yang benar-benar harus menantang hidup. Menaikkan topi dan… “Prit! Prit!!!”, peluit kutiup sembari mengatur keluar masuknya kendaraan di sebuah pusat perbelanjaan. Aku harus menegakkan tulang belakangku dan kembali tegap memandang ke depan.

* * *

Aku sempat melalui hidupku dengan menggelandang di jalanan. Sedang apa? Ya, aku menggoyang-goyangkan kicrikan sambil menengadahkan satu tanganku sembari menyambangi kendaraan satu dan kendaraan lainnya. Aku mengamen saat tengah hari bolong. Keringat bercucuran dan asap kendaraan pun menerjang mukaku bertubi-tubi. Seharian aku menghabiskan waktu di sekitaran lampu Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas (APILL) dan beberapa kali mengistirahatkan tubuhku di bawah pohon ditemani semilir angin yang menenangkan.
Tak terasa hari sudah mulai sore, aku berjalan pulang ke rumah untuk menyetor uang pada Ibu. Di jalan aku melihat segerombolan anak geng sedang tertawa terkekeh-kekeh, sepertinya mereka sedang melakukan sesuatu yang cukup privasi. Satu orang pergi meninggalkan gerombolan itu dengan membawa sesuatu yang dibungkus rapat. Aku terus berjalan tanpa melengoh ke arah mereka sedikit pun. Aku diam saja melewati mereka. Tetapi langkahku terhenti setelah sebuah tepukan mendarat di pundakku. Aku menoleh.
“Ini untukmu”, katanya.
“Apa ini?”, aku menanggapi mereka dengan perasaan bingung mengapa aku meladeni orang yang tidak kukenal ini.
“Kelihatannya kamu sedang lelah, mungkin kamu perlu ini. Coba rasakan ini, kamu akan merasa bebas dari semua masalah yang mengikatmu”
Aku menerimanya dan berlari pulang.
Sesampainya di rumah aku langsung menyetor uang kepada Ibu dan masuk kamar. Aku mengunci diri dalam kamar. Aku menggerayangi saku celana dan mengambil benda yang diberikan lelaki tadi. Bentuknya pil. Tanpa perlu pikir panjang, aku pun langsung meminumnya satu buah karena penasaran.
Keesokan harinya aku kembali mengamen di tempat biasa. Setengah hari sudah aku mondar-mandir di antara mobil dan sepeda motor. Seperti biasa aku selalu disinisi oleh para pengendara yang berhenti di sekitar lampu APILL itu. Terik mulai menggelitik kulitku. Aku menuju pohon yang rindang untuk beristirahat. Tiba-tiba seseorang yang kemarin memberiku obat datang menghampiriku dan menawarkanku untuk menjual obat itu. Aku setuju karena aku akan diberinya uang. Aku mulai menjual obat itu dengan mengiming-imingi orang lain bahwa obat itu manjur untuk menjaga spirit tetap optimal. Padahal aku sendiri kurang paham obat apakah itu. Aku mulai menipu, membual, dan mengumbar 1001 kebohongan di mana-mana.
Suatu saat aku sadar dari keterlenaanku akan uang yang aku peroleh. Aku baru mengetahui bahwa obat itu adalah narkoba ketika salah seorang pelangganku menuduhku menjual obat yang telah membuat Ia kecanduan. Tetapi aku tidak tahu sama sekali!. Tampilan obat itu begitu meyakinkan di balik kedok busuknya.
Perasaanku bergejolak, aku gelisah dengan kebodohan yang selama ini aku perbuat. Ibu dan adik bahkan tidak tahu bahwa aku melakukan pekerjaan kotor yang selama ini aku perbuat. Untung saja aku hanya meminumnya satu hanya sekedar untuk mencicipi, pikirku. Aku heran mengapa aku tidak kecanduan. Mungkin obat itu hasil oplosan dengan obat lain yang sering dijual di pasaran. Atau orang itu telah membodohiku?, aku bergumam.
Perasaanku seolah amburadul dikoyak arus sungai yang deras. Tidak dapat dipungkiri bahwa aku telah menjadi seorang bandar. Ya, bandar narkoba.

* * *

Siang hari ketika aku berjalan di sepanjang trotoar, aku melihat beberapa polisi berlari ke arahku.
“Angkat tangan!”, seru salah seorang polisi.
Aku tersontak mengangkat tangan, terpaku, dan melotot ketakutan. Aku tahu orang-orang di sekitarku pasti terkejut. Aku ditangkap. Salah seorang pembeli obatku mungkin telah melaporkanku ke polisi. Tanganku diborgol. Aku diangkut mobil polisi. Aku hanya menunduk malu dan teringat Ibu dan adik yang ku tinggalkan. Mungkin mereka sedang cemas dan ketar-ketir menungguku di rumah.
            “Sudah berapa lama Anda menjadi pengedar narkoba?”,  tanya polisi itu.
“Dua bulan, Pak.” Aku mencoba berusaha jujur untuk mempertanggungjawabkan segala kesalahanku.
“Narkoba bentuk apa yang Anda jual?”
“Pil”,  jawabku lirih.
Aku dihujani berbagai macam pertanyaan menyelidik. Berkat kejujuranku, kini aku masuk jeruji besi dan tinggal bersama tawanan lain. Aku divonis 2,5 tahun penjara. Aku marah pada diriku sendiri dan orang lain. Geram. Mengapa hal ini terjadi padaku? Mengapa aku mau menerima tawaran anggota geng itu? Mengapa mereka tega menjebakku? Cobaan ini begitu berat dan pedih.
Beberapa hari kemudian Ibu dan adik menjengukku di rumah tahanan. Mereka menyaksikanku tak berdaya sedang memegangi jeruji besi sambil meratap di antara celah jeruji. Aku melihat Halmer menangis. Aku tidak tahu apakah itu tangisan kerinduan ataukah yang lain. Tangisan itu telah menyentuh hati dan membuka mata batinku. Aku pun tergerak untuk berubah.
Mimpi itu memang terlihatnya jauh jika kita tidak berusaha. Selama di penjara aku banyak menghabiskan waktu di perpustakaan. Aku membaca sekitar 15 buku dalam sehari. Aku melalui hari-hariku dengan membaca dan membaca. Selain membaca aku juga menulis dan mencoba untuk menyusun buku.

* * *

            Aku telah membaca sekitar 90% dari 3.000 buku yang ada di perpustakaan dan berhasil menyelesaikan tujuh buku. Setelah 2,5 tahun berlalu, akhirnya aku bebas dan bisa bernapas lega.
            Ibu dan adikku pasti sedang menungguku di rumah. Setibanya di rumah, aku menghampiri Ibu dan bersujud di bawah kakinya untuk meminta maaf. Senang mengetahui bahwa Halmer telah menyelesaikan sekolahnya.
            Keesokan harinya, aku mendatangi penerbit untuk menawarkan bukuku. Sayang aku ditolak. Aku mencari penerbit lain dengan tujuan yang sama, namun aku ditolak lagi karena latar belakangku yang hanya seorang tamatan SMP dan mantan narapidana.
            Sampai suatu ketika aku bertemu dengan seorang penerbit yang tertarik dengan bukuku dan bukuku pun berhasil diterbitkan. Aku bersyukur.
            Lalu aku pergi ke suatu sungai terdekat untuk merilekskan pikiran. Aku memejamkan mata dan berkata dalam hati, “Walaupun gelap dan dalam, walaupun arusnya deras, walau tak berjalan baik, dan walau terkadang tenggelam, tetapi kini aku telah menemukan tepian dan aku telah sampai.”
            Aku bersyukur karena penjara telah menjadi sebuah batu lompatan bagiku untuk menemukan jalanku. Tuhan telah merencanakan sesuatu yang indah dan tak pernah kubayangkan. Aku melihat batu di bawah kakiku dan mengambilnya satu. Aku memegangnya erat dan melemparkannya jauh-jauh. Lalu aku merentangkan tangan dan berteriak, ”Batu yang telah kulemparkan akan mengabulkan impian!” Bahkan suara jatuhnya pun tak terdengar.
            Aku teringat ketika aku masih SMP, aku selalu mendapatkan nilai yang baik di kelas sastra. Sekarang aku dapat membuktikan bahwa seorang tamatan SMP dan mantan narapidana pun bisa menggapai impiannya. Asal Ia mempunyai tekad yang besar dan mau berusaha.
            Akhirnya dari omzet penjualan bukuku, aku bisa mengangkat derajat keluargaku untuk menebus masa lalu yang kelam. Aku juga mendirikan sebuah yayasan sosial untuk menampung anak-anak jalanan, mantan napi, dan anak yatim. Berkat yayasan itu aku pun banyak mendapatkan penghargaan. Aku juga telah mengejar paket B untuk mendapatkan ijazah SMA. Sekarang aku telah diangkat sebagai Ketua Granat (Gerakan Nasional Anti Narkoba) dan aku Nathan Jayden tak akan pernah berhenti untuk menulis. Ini untuk Ibu dan Halmer.




TAMAT
 

Another Post You May Interest

Your Hardliner

going to a grocery market wanna buy you a bouquet of bliss to celebrate us for not any order then the servant just tell me an anec...

What's Popular?