Kemarin aku
berkeluh kisah pada teman lamaku seorang peternak kambing
Ia memilih
menyambangi kandang pagi-petang.
Dan aku tetap
dengan pandangan idealisku, mengenyam bangku kuliah
Impian orang
Indonesia terlalu melankolis, katanya. Aku ganjil mendengarnya.
1. Bung, katanya
mahasiswa dekat dengan wong cilik?
2.
Katamu kuliah untuk menggugah golonganku?
Dua pertanyaan
beruntutan menerjang menengadah di muka pertemuan kali itu
Tugas terus yang
kamu asih-asuh
Mahasiswa
diproduksi untuk mengisi kekosongan jabatan, mendogma mereka akan sukarnya
kompetisi global
Menjanjikan para
akademisi−begitu mereka menyebutmu−masa depan yang cerah
Katanya mahasiswa
berada di garda depan, tapi otoritas selalu colong start
Pemerintah hanya
menyembuhkan kekhawatiran-kekhawatiran mahasiswa yang ia cipta sendiri
Mahasiswa ibarat
agen bungkam dengan impian besar indahnya revolusi nasional
Kompetisi kan
tidak melulu tentang global, Bung!
Kompetisi selalu
perkara membandingkan, namun lupa bebenah kemakmuran lokal
Coba lihat
dirimu, ditempa hingga lupa hidup mensosial
Generasi
milenial telah lama mati, Bung
Pembangunan
melulu masalah politik ekonomi
Mobilitas
vertikal yang digadang-gadang malah menjadikan deflasi produktivitas
Pendidikan
tinggi hanya meninggikan jumlah dan prestise sarjana
Kamu, menyebut
diri Maha-siswa tapi tak sekalipun membantah konsep pembangunan yang kontinyu
dikekalkan
Mahasiswa harus
bebas untuk memerdekakan paradigma berpikir manusia. Karena pembebasan
mahasiswa adalah seni menggalakkan otoritas yang asasi
Sumber foto: kompas.com |
Yogyakarta, 18
Oktober 2016.
*NB: Puisi yang mengambil tema, "Mahasiswa dan Perannya Sebagai Makhluk Sosial" ini pernah saya kirimkan ke komunitas kampus 'SPASI' di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UAJY.
Selamat meresapi.