CERPEN
“Kita cerai!”, Ayah membentak. Talak
tiga sudah.Ya, itu adalah peristiwa enam tahun lalu ketika aku masih duduk di
bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP) kelas tiga. Aku adalahanak broken home yang masih terlalu muda
untuk menjadi tulang punggung keluarga.
Kesulitan
ekonomi mulai melanda keluarga kami setelah satu tahun si kutu kupret itu
meninggalkan Ibu. Aku memutuskan untuk berhenti sekolah dan membantu Ibu
mencari uang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan untuk menyekolahkan
adikku. Ada perasaan menyesal memang, ketika aku tidak bisa seperti
teman-temanku yang melanjutkan sekolah ke jenjang berikutnya. Tetapi Ibuku
hanyalah seorang pekerja serabutan yang gajinya pas-pasan dan tubuhnya yang
mulai ringkih membuatku tak tega melihatnya. Maklum usianya sudah menginjak
setengah abad.
Aku
benci Ayah. Mengapa Ia lebih memilih wanita jalang itu daripada Ibu yang lemah
lembut dan cantik menawan bagiku. Semenjak persidangan, Ibu tidak pernah
terlihat menitikkan air mata setetes pun. Mungkin Ibu hanya menangis di dalam
toilet di bawah pancuran air shower. Sehingga
air matanya mengalir bersama dengan tetesan air shower tanpa terlihat sedikit pun. Ibu memang wanita yang tegar.
Adikku
Halmer adalah satu-satunya harapan keluarga. Halmer sekarang berumur 16 tahun. Syukurlah
aku dan Ibu masih sanggup membiayai sekolahnya sampai Sekolah Menengah Atas
(SMA). Sempat aku berpikir bahwa hidupnya pasti akan lebih mujur daripada
kakaknya.
Aku dan
Ibu bekerja mati-matian untuk menafkahi keluarga. Mulai dari pembantu rumah
tangga, tukang bangunan, tukang parkir, bahkan buruh pasarpun pernah aku jalani.
Sedangkan Ibu hanya bekerjadi rumahsambil membuka jasa menyetrika baju karena
memang aku yang memintanya begitu. Berkali-kali aku bergonta-ganti pekerjaan. Bukan
karena kualitas kerjaku yang buruk lalu dipecat atasan, tetapi karena aku
berusaha mencari penghasilan yang lebih besar sebisa mungkin demi adikku. Beberapa
kali aku mulai putus asa dan menyerah karena letih dipundakku tak
bosan-bosannya bertengger. Jalan hidup yang kulalui terasa berat dan abstrak. Sulit
dilalui oleh aku yang masih berusia 20 tahun tanpa ijazah SMA berkeliaran di
jalan untuk mencari secercah harapan hidup.
Sampai
pada suatu hari keterpurukan menerjang keluarga kami. Ibu sakit dan harus
istirahat yang cukup. Kini hanya aku yang benar-benar harus menantang hidup.
Menaikkan topi dan… “Prit! Prit!!!”, peluit kutiup sembari mengatur keluar
masuknya kendaraan di sebuah pusat perbelanjaan. Aku harus menegakkan tulang
belakangku dan kembali tegap memandang ke depan.
* * *
Aku
sempat melalui hidupku dengan menggelandang di jalanan. Sedang apa? Ya, aku
menggoyang-goyangkan kicrikan sambil menengadahkan satu tanganku sembari
menyambangi kendaraan satu dan kendaraan lainnya. Aku mengamen saat tengah hari
bolong. Keringat bercucuran dan asap kendaraan pun menerjang mukaku
bertubi-tubi. Seharian aku menghabiskan waktu di sekitaran lampu Alat Pemberi
Isyarat Lalu Lintas (APILL) dan beberapa kali mengistirahatkan tubuhku di bawah
pohon ditemani semilir angin yang menenangkan.
Tak
terasa hari sudah mulai sore, aku berjalan pulang ke rumah untuk menyetor uang
pada Ibu. Di jalan aku melihat segerombolan anak geng sedang tertawa
terkekeh-kekeh, sepertinya mereka sedang melakukan sesuatu yang cukup privasi. Satu
orang pergi meninggalkan gerombolan itu dengan membawa sesuatu yang dibungkus
rapat. Aku terus berjalan tanpa melengoh ke arah mereka sedikit pun. Aku diam
saja melewati mereka. Tetapi langkahku terhenti setelah sebuah tepukan mendarat
di pundakku. Aku menoleh.
“Ini
untukmu”, katanya.
“Apa ini?”,
aku menanggapi mereka dengan perasaan bingung mengapa aku meladeni orang yang
tidak kukenal ini.
“Kelihatannya
kamu sedang lelah, mungkin kamu perlu ini. Coba rasakan ini, kamu akan merasa
bebas dari semua masalah yang mengikatmu”
Aku
menerimanya dan berlari pulang.
Sesampainya
di rumah aku langsung menyetor uang kepada Ibu dan masuk kamar. Aku mengunci
diri dalam kamar. Aku menggerayangi saku celana dan mengambil benda yang diberikan
lelaki tadi. Bentuknya pil. Tanpa perlu pikir panjang, aku pun langsung
meminumnya satu buah karena penasaran.
Keesokan
harinya aku kembali mengamen di tempat biasa. Setengah hari sudah aku
mondar-mandir di antara mobil dan sepeda motor. Seperti biasa aku selalu
disinisi oleh para pengendara yang berhenti di sekitar lampu APILL itu. Terik
mulai menggelitik kulitku. Aku menuju pohon yang rindang untuk beristirahat. Tiba-tiba
seseorang yang kemarin memberiku obat datang menghampiriku dan menawarkanku
untuk menjual obat itu. Aku setuju karena aku akan diberinya uang. Aku mulai
menjual obat itu dengan mengiming-imingi orang lain bahwa obat itu manjur untuk
menjaga spirit tetap optimal. Padahal aku sendiri kurang paham obat apakah itu.
Aku mulai menipu, membual, dan mengumbar 1001 kebohongan di mana-mana.
Suatu
saat aku sadar dari keterlenaanku akan uang yang aku peroleh. Aku baru
mengetahui bahwa obat itu adalah narkoba ketika salah seorang pelangganku
menuduhku menjual obat yang telah membuat Ia kecanduan. Tetapi aku tidak tahu
sama sekali!. Tampilan obat itu begitu meyakinkan di balik kedok busuknya.
Perasaanku
bergejolak, aku gelisah dengan kebodohan yang selama ini aku perbuat. Ibu dan
adik bahkan tidak tahu bahwa aku melakukan pekerjaan kotor yang selama ini aku
perbuat. Untung saja aku hanya meminumnya satu hanya sekedar untuk mencicipi,
pikirku. Aku heran mengapa aku tidak kecanduan. Mungkin obat itu hasil oplosan
dengan obat lain yang sering dijual di pasaran. Atau orang itu telah
membodohiku?, aku bergumam.
Perasaanku
seolah amburadul dikoyak arus sungai yang deras. Tidak dapat dipungkiri bahwa
aku telah menjadi seorang bandar. Ya, bandar narkoba.
* * *
Siang hari ketika aku berjalan di
sepanjang trotoar, aku melihat beberapa polisi berlari ke arahku.
“Angkat tangan!”, seru salah seorang
polisi.
Aku tersontak mengangkat tangan,
terpaku, dan melotot ketakutan. Aku tahu orang-orang di sekitarku pasti terkejut.
Aku ditangkap. Salah seorang pembeli obatku mungkin telah melaporkanku ke
polisi. Tanganku diborgol. Aku diangkut mobil polisi. Aku hanya menunduk malu
dan teringat Ibu dan adik yang ku tinggalkan. Mungkin mereka sedang cemas dan
ketar-ketir menungguku di rumah.
“Sudah
berapa lama Anda menjadi pengedar narkoba?”, tanya polisi itu.
“Dua bulan, Pak.” Aku mencoba
berusaha jujur untuk mempertanggungjawabkan segala kesalahanku.
“Narkoba bentuk apa yang Anda jual?”
“Pil”, jawabku lirih.
Aku dihujani berbagai macam
pertanyaan menyelidik. Berkat kejujuranku, kini aku masuk jeruji besi dan tinggal
bersama tawanan lain. Aku divonis 2,5 tahun penjara. Aku marah pada diriku
sendiri dan orang lain. Geram. Mengapa hal ini terjadi padaku? Mengapa aku mau
menerima tawaran anggota geng itu? Mengapa mereka tega
menjebakku? Cobaan ini begitu berat dan pedih.
Beberapa hari kemudian Ibu dan adik
menjengukku di rumah tahanan. Mereka menyaksikanku tak berdaya sedang memegangi
jeruji besi sambil meratap di antara celah jeruji. Aku melihat Halmer menangis.
Aku tidak tahu apakah itu tangisan kerinduan ataukah yang lain. Tangisan itu
telah menyentuh hati dan membuka mata batinku. Aku pun tergerak untuk berubah.
Mimpi itu memang terlihatnya jauh jika
kita tidak berusaha. Selama di penjara aku banyak menghabiskan waktu di
perpustakaan. Aku membaca sekitar 15 buku dalam sehari. Aku melalui hari-hariku
dengan membaca dan membaca. Selain membaca aku juga menulis dan mencoba untuk
menyusun buku.
* * *
Aku
telah membaca sekitar 90% dari 3.000 buku yang ada di perpustakaan dan berhasil
menyelesaikan tujuh buku. Setelah 2,5 tahun berlalu, akhirnya aku bebas dan
bisa bernapas lega.
Ibu dan
adikku pasti sedang menungguku di rumah. Setibanya di rumah, aku menghampiri
Ibu dan bersujud di bawah kakinya untuk meminta maaf. Senang mengetahui bahwa
Halmer telah menyelesaikan sekolahnya.
Keesokan
harinya, aku mendatangi penerbit untuk menawarkan bukuku. Sayang aku ditolak.
Aku mencari penerbit lain dengan tujuan yang sama, namun aku ditolak lagi karena
latar belakangku yang hanya seorang tamatan SMP dan mantan narapidana.
Sampai
suatu ketika aku bertemu dengan seorang penerbit yang tertarik dengan bukuku
dan bukuku pun berhasil diterbitkan. Aku bersyukur.
Lalu aku
pergi ke suatu sungai terdekat untuk merilekskan pikiran. Aku memejamkan mata
dan berkata dalam hati, “Walaupun gelap dan dalam, walaupun arusnya deras,
walau tak berjalan baik, dan walau terkadang tenggelam, tetapi kini aku telah
menemukan tepian dan aku telah sampai.”
Aku
bersyukur karena penjara telah menjadi sebuah batu lompatan bagiku untuk menemukan
jalanku. Tuhan telah merencanakan sesuatu yang indah dan tak pernah
kubayangkan. Aku melihat batu di bawah kakiku dan mengambilnya satu. Aku
memegangnya erat dan melemparkannya jauh-jauh. Lalu aku merentangkan tangan dan
berteriak, ”Batu yang telah kulemparkan akan mengabulkan impian!” Bahkan suara
jatuhnya pun tak terdengar.
Aku
teringat ketika aku masih SMP, aku selalu mendapatkan nilai yang baik di kelas
sastra. Sekarang aku dapat membuktikan bahwa seorang tamatan SMP dan mantan
narapidana pun bisa menggapai impiannya. Asal Ia mempunyai tekad yang besar dan
mau berusaha.
Akhirnya
dari omzet penjualan bukuku, aku bisa mengangkat derajat keluargaku untuk
menebus masa lalu yang kelam. Aku juga mendirikan sebuah yayasan sosial untuk
menampung anak-anak jalanan, mantan napi, dan anak yatim. Berkat yayasan itu aku
pun banyak mendapatkan penghargaan. Aku juga telah mengejar paket B untuk
mendapatkan ijazah SMA. Sekarang aku telah diangkat sebagai Ketua Granat
(Gerakan Nasional Anti Narkoba) dan aku Nathan Jayden tak akan pernah berhenti
untuk menulis. Ini untuk Ibu dan Halmer.
TAMAT